Adsense Camp

rss

Pasang iklan disini

Monday, December 28, 2009

Untuk Sekali


“Jangan! Aku mohon jangan!” jeritku perih. Laki-laki berbadan besar dengan janggut tak terurus itu menatapku garang. “Berhentilah berteriak, bocah! Kau kira kau siapa bisa melarangku? Kau mau kupenggal juga, hah!” bentaknya kasar dan makin mengobarkan api ketakutan dalam dadaku. Aku memohon pelan, “tolong jangan sakiti dia”,pintaku.
Lali-laki ceking disebelahnya tertawa parau. “Jangan banyak bicara kau! Mengurusnya saja kau tak bisa! Lagipula ini demi kebaikanmu juga, bodoh! Jika wanita yang terkena kutukan hitam ini pergi jauh maka nayawamu tidak akan terancam!”
Si badan besar mendorongku keras. Kepalaku terbentur meja karatan di belakangku dan dapat kurasakan aliran darah menuruni kepalaku. Kedua laki-laki itu menyeret wanita itu dariku. Wanita itu meronta tak berdaya. Matanya menatap nanar. Tapi ia sama sepertiku, lemah.


Dalam diam aku menangis. Tubuhku berguncang hebat. Oh, ibu andaikan saja anakmu ini terlahir sebagai orang yang kuat dan tak terkalahkan tentu nasibmu tak akan menjadi seperti ini. Salahkulah kau menderita. Salahkulah kau dihina. Pantaslah jika kau melupakanku sekarang. Maafkan aku yang terlahir sebagai anakmu.
***
Aku takkan pernah lupa awalnya bagaimana. Aku selalu ingat hari itu. Hari dimana semuanya berawal. Ibuku pulang dengan tampang letihnya yang biasa. Aku tersenyum dan memeluknya seperti yang biasa kulakukan. Tapi tak seperti yang biasa ia lakukan ia menolakku. “Siapa kau?” tanyanya heran.
Hatiku seperti dihantam batu besar. Aku tahu ia bercanda, ia tak mungkin benar-benar lupa anaknya. “Ibu, ini aku anakmu. Ibu tak mungkin lupa dengan anak yang pernah ibu lahirkan, kan?” aku memeluknya dan ia tak menolakku lagi.
Sejak saat itu ia tidak pernah normal. Ia seperti tidak pernah mengenalku. Ibuku sudah tua, aku tahu. Gejala pikunnya sudah mulai terlihat, semakin hari terlihat makin parah. Ia tidak mudah mengingat informasi yang ia dapatkan. Ia pernah sampai lupa mengunci rumah sehingga habislah barang kami dilahap maling. Tapi, meskipun penyakit pikunnya semakin menjadi-jadi benarkah ia sampai melupakanku? Apakah aku terlalu hina untuk diingatnya?
Waktu berlalu. Segala macam cara kutempuh untuk mengingatkannya padaku. Kuajak dia ke ladang tempat kami biasanya bekerja. Kuajak dia ke tempat dimana kami biasanya menghabiskan waktu bersama. Tapi segalanya tidak berubah. Ia selalu menatapku dalam diam, sedikit waspada. Aku tahu ia sedang berpikir keras untuk mengingatku dan itu membuatku sedikit bahagia.
Setelah ibuku menjadi seperti itu, kami seperti bertukar peran. Kali ini akulah yang mengurusnya, tidak seperti dulu ketika ia sangat telaten mengurusku. Ibuku seperti lupa bagaimana caranya memasak, bagaimana caranya mandi ataupun hal-hal yang tak pernah sulit baginya dulu. Aku rindu ibuku yang dulu. Aku seperti tidak mengenalnya.
Dalam keadaannya yang seperti itu ia tetap pergi bekerja. Ibuku bekerja sebgai pembuat makanan. Ia bekerja pada tetangga kami. Aku tidak pernah menyukai wanita itu. Ia selalu bertindak semena-mena terhadap bawahannya. Tapi, ia tidak berani macam-macam dengan ibuku atau ia akan kehilangan asetnya yang paling berharga.
Pada suatu hari yang kelabu wanita itu mendatangiku. Wajahnya penuh amarah. Begitu ia menemuiku, ia dengan kasar menamparku. Aku tentu saja tidak terima. “Kau kira kau siapa bisa seenaknya saja menamparku!” aku membentaknya kasar. Matanya penuh oleh amarah. “Kau tahu apa yang dilakukan ibumu? Ia sudah membuatku rugi besar! Gara-gara kerjanya yang tidak becus pelangganku sampai keracunan. Kau tahu itu artinya apa? Uang ganti rugi yang jumlahnya sangat besar!” ia menggeram.
Aku tertegun oleh kata-katanya. Aku harusnya sudah tahu hal itu. Ibuku takkan bisa bekerja dengan kondisinya yang seperti itu. Bodoh sekali diriku!
“Dimana ia sekarang?” tanyaku khawatir. Nada suaraku penuh dengan rasa takut. “Haruskah aku tahu? Seharusnya kau sebagai anaknya yang lebih tahu. Atau kau sebenarnya sudah tidak mau mengurus ibumu yang tua itu?” ejek wanita itu kasar. Aku menggenggam tanganku agar amarahku tidak meluap. Aku bergerak pergi untuk mencari ibuku. Wanita itu menarik tanganku. “Bagaimana kau akan ganti rugi?” tanyanya. “ Seperti kau cukup laku untuk dijual,” senyum liciknya mengembang. Kuarahkan genggamanku kepadanya dan membiarkannya kesakitan dengan sumpah serapahnya padaku.
Seluruh desa telah kutelusuri untuk mencari ibuku ketika kutemukan ia berjalan linglung tanpa arah. Kupanggil ia. Ia tak menyahut, tentu saja. Aku berlari menghampirinya. Ia menatapku dengan pandangan anehnya yang sama. Aku tak peduli. Aku hanya ingin membawanya pulang.
Aku ingin ibuku sembuh. Desaku hanya kampung kecil yang terisolir dari dunia luar. Satu-satunya pertolongan yang bisa kudapatkan hanya melalui dukun. Aku pernah membawanya kesana. Tapi bukannya malah membantu, dukun itu mulai berpendapat liar, ia mengatakannya bahwa ibuku terkena akibat dari ilmu hitam yang pernah dijalaninya dulu. Omong kosong, aku tahu ibuku tak pernah menjalani ilmu hitam, meskipun ia memang anak dari seorang dukun yang dihukum mati karena dikira menyebabkan malapetaka bagi seluruh kampung.
Tapi semakin hari, perkataan dukun itu seperti mensugestinya. Ibuku kian bertingkah aneh. Ia kadang-kadang menjerit dan menangis secara tiba-tiba lalu semenit kemudian ia bersikap tenang dengan sendirinya bahkan sampai tertidur pulas. Tidurnya bahkan sampai melebihi waktu normalnya. Ia bisa tiba-tiba marah padaku tanpa sebab bahkan sampai menamparku. Aku selalu menangis saat ia melakukannya. Ibu, tolong ingat aku sekali saja.
Ibuku juga menjadi sangat paranoid. Ia kadang-kadang tampak sangat takut dan melempar barang-barang ke arah angin di depannya. Ia kemudian berteriak-teriak dan menggeram. Meskipun aku tak tahu apa yang dialaminya, aku tahu ia sedang berhalusinansi. Ia memeluk tubuhnya erat dan menggeleng keras. Ia takkan membiarkan sesuatu yang dilihatnya merenggut kepunyaannya.
Makin hari halusinasinya makin parah. Hatiku kian hancur melihatnya. Ia tampak sangat depresi. Matanya liar kesegala arah, tubuhnya yang lemah bergetar. Ia menangis hampir tiap malam. Ketika pagi menjelang aku harus menjaganya ketat agar ia tidak keluar kemana-mana. Ia menjadi sangat bergantung padaku. Kadang-kadang hal itu membuatku sangat kewalahan. Aku tidak saja hanya mengurus diriku sendiri tetapi juga ibuku. Ibu benar-benar parah. Ia sampai tidak bisa membedakan baju dengan sarung. Ia seperti lupa caranya makan. Ia seperti lupa dirinya siapa.
Hal yang kutakutkan terjadi juga. Orang-orang desa mulai membicarakan ibuku. Mereka berbisik-bisik takut dan waspada. Entah siapa yang menyebarkan bahwa ibuku terkena kutukan ilmu hitam turunan ayahnya. Wanita penjual makanan yang dendam kepadaku itu semakin memperparah keadaan. Ia mengompori warga untuk mengusir ibuku. Alasan palsunya adalah agar ibuku tidak menyebabkan malapetaka seperti ayahnya. Aku menggeram. Kampungku memang erat dengan bau animisme. Tapi takkan kubiarkan mereka melakukannya!
Tapi daya apa yang dapat aku lakukan? Aku hanya wanita lemah yang tak berguna. Kubiarkan ibuku dibawa pergi oleh dua orang laki-laki itu. Yang bisa kulakukan hanya menangis dan kutahu hal itu hanya akan memperburuk batinku.
***
Waktu pergi tanpa diminta. Ia takkan peduli rintih yang dilaluinya. Ia takkan pernah menoleh ke belakang.
Setiap pagi aku menyempatkan diri melewati gubuk itu. Mataku mengintip sedikit. Kulihat ibuku terkulai lemah. Tangan dan kakinya dipasung. Hatiku hancur melihatnya. Tapi ketika melihat wajahnya mau tak mau secercah hatiku berbunga melihatnya.
Orang-orang kampung tidak berani melewati gubuk itu. Mereka tidak mau tertular kutukan yang menimpa ibuku. Sebagian orang memberikan simpatinya untukku meski aku tidak membutuhkannya. Sebagian memandang jijik ke arahku, menggumamkan sumpah serapahnya. Aku tidak peduli dan tidak akan pernah peduli. Mereka adalah bagian tidak penting dari duniaku. Ibuku adalah satu-satunya yang kupikirkan sekarang.
Tidak biasanya gubuk itu sepi. Aku bukannya tidak pernah mencoba masuk kesana. Dua kali aku kesana dua kali penjaganya yang bertubuh besar itu mendepakku keluar. Mereka mengancam membunuh ibuku jika aku datang sekali lagi. Tapi situasi kali ini begitu menggoda. Penjaga-penjaga itu tidak tampak batang hidungnya.
Aku mencoba masuk. Kubuka pintu gubuk dan kulihat ibuku disana. Ia memandangiku, tampak tak peduli. Aku mendekat dan membelai wajah keriputnya. Ia tidak meronta seperti biasa dan herannya hal itu membuatku sedih. Setidaknya dengan meronta menunjukkan tanda-tanda kehidupan dalam dirinya. Dia tampak seperti setengah mati.
Apapun yang dialami ibuku itu bukan salahnya. Segala hal yang menimpanya murni kehendak alam. Andai saja anaknya merupakan orang berpendidikan tentu nasibnya takkan begini. Penyakitnya akan diketahui tanpa embel-embel mistis. Tapi sayangnya membaca saja aku tidak bisa.
Aku meninggalkan gubuk itu. Hatiku tak tahan melihatnya mederita. Jiwaku memberontak tapi apa yang dapat aku lakukan? Tenagaku sudah habis untuk melawan. Tubuhku terlalu lemah untuk digunakan. Bahkan air mataku hampir kering sekarang.
“Niiinggg!!!” panggil seseorang di belakangku. Aku menoleh. Reni. Ia berlari menghampiriku, napasnya memburu. Ia terengah-engah, “ibumu, Ning!” katanya cepat. Aku tersentak, “ada apa?” tanyaku khawatir. Reni menenangkan dirinya. Ia mengatur napas. “Ibumu akan dihukum mati! Ia membunuh dua penjaganya!”
Aku lemas. Tubuhku mati rasa. Benarkah? Batinku menolak. Ibuku takkan mungkin tega melakukannya. Reni membantuku bangkit. “Kau harus menolongnya, Ning. Hukuman mati dilakukan nanti malam!” katanya ingin mengobarkan api dalam dadaku.
Aku tahu ini tidak benar. Hal ini dusta. Seolah-olah duniaku tak cukup buruk saja! Ibu, apa yang bisa kulakukan untukmu? Andai saja kau mengingatku dan mengatakan hal apa yang dapat kulakukan tentunya hal ini tak menjadi begitu berat. Andai saja . . .
Aku berlari. Langkahku kosong, tapi aku tahu tujuanku. Setidaknya bila ia harus mati aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya. Aku memaki diriku sendiri. Aku semakin membenci diriku. Segala hal yang ada paadku tampak tak berguna. Aku tak lebih berharga dari sampah.
Aku melihatnya. Aku melihat penjaga bertubuh besar lain menggotong tubuh ibuku. Mereka memasukkan raga ibuku ke dalam sebuah karung besar. Ia tidak meronta. Ia terdiam seperti kehabisan tenaga. Begitu juga aku. Lidahku terasa kelu untuk berteriak. Namun otakku tidak berhenti begitu saja samapi menemukan suatu cara.
***
Dan disinilah aku. Kegelapan yang sangat menyelimutiku. Badanku gemetar namun hatiku tidak. Hatiku kian menguat tiap detiknya. Mengingat ia kini berada di tempat yang lebih baik. Mengingat ia akan membaik.
Aku tak pernah takut kematian. Kematian hanya jeda dua alam. Aku tak peduli dengan tubuhku yang rapuh. Yang kupikirkan hanya dia. Satu-satunya harta yang kupunya. Kubiarkan ia pergi dari sampingku, mencari kehidupan yang lebih baik.
Suara orang-orang diluar bertambah ramai. Suara-suara yang kudengar tampak sangat antusias. Mereka seperti akan menyaksikan peristiwa bersejarah sepanjang hidup mereka. Kudengar suara tegas berteriak. Suara yang merupakan kepunyaan pemimpin desa. Kau tidak memperhatikan ucapanku. Tubuhku yang terkurung kian lemah. Nafasku tak selancar biasanya.
Harapan bagiku takkan pernah padam. Jika harapan sampai padam, bagi orang sepertiku itu sama saja dengan kematian. Aku tahu ia lupa padaku. Aku tahu ia sulit mengingatku. Namun kumohon ibu, jika kau bisa sembuh nanti, ingatlah kepadaku dimanapun tempatku nanti, kumohon sebutlah namaku sekali saja. Meskipun diriku terlalu hina untuk dikenang. Meskipun aku tak pantas menerima apa-apa. Kumohon, ingat aku sekali saja.
***


0 comments:


Post a Comment

Kumpul Blogger